Entri Populer

Minggu, 03 April 2011

Dominasi Orang Makian di Maluku Utara


Dominasi Etnis Makian Di Maluku Utara.
Etnis makian merupakan salah satu etnik dominan dalam memainkan peran-perannya diberbagai segmen kehidupan dan pembangunan di wilayah propinsi maluku utara yang cenderung mengedepankan semangat kekerabatan yang disatukan dalam semangat primordialisme, hubungan kekeluargaan dan persahabatan sebagai modal sosial untuk membentuk struktur sosial etnis yang mereka bangun.
Etnik makian dimaluku Utara adalah salah satu etinik, yang sangat menarik perhatian untuk dikaji tentang struktur soisal yang dibangun sehingga mempunyai kekuatan dominan diberbagai segmen kehidupan diprovinsi Maluku Utara. Struktur Sosial yang dimaksudkan adalah jalinan antara unsur-unsusr sosial yang pokok, sepertihalnya kaidah-kaidah atau norma-norma sosial, lembaga-lembaga sosial,kelompok-kelompok sosial, serta lapisan-lapisan sosial, Taneko, (1990).
Tentu dalam Masyarakat etnis makian keluarga dalam masyarakat mempunyai perbedaan sistem untuk menarik garis penghubung. Itu artinya bahwa, ada sistem yang menurut mana para anggotanya menarik garis penghubung melalui leluhur atau atas pertalian kemasyarakatan atau pengangkatan. Perkawinan orang makian dengan etnis yang lain, secara umum dalam pola hubungan kekerabatannya seringkali didominasi oleh sistem nilai-budaya orang makian.
Disamping nilai-nilai kekerabatan yang terus dipupuk, etnis makian sangat taat dan patuh terhadap ajaran-ajaran agama, khususnya agama islam. Masyarakat makian diketahui sebagai sebuah koumunitas yang sangat fanatik terhadap agama.Hal ini disebabkan karena Kebanyakan Etis makian melakukan proses perkawinan dengan orang arab, yang sejak dahulu kala memyebarkan islam dan akhirnya kawin dengan perempuan-perempuan etnis makian.
Oleh karenanya, boleh jadi pola pikir dan semangat hidup orang makian sedikitnya terkontaminasi oleh orang-orang arab yang nota bene adalah bagian dari kominitas mereka hingga kini. Dalam pada itu, tidak bermaksud menjustifikasi bahwa kewibawaan harkat dan harga diri yang tinggi mendorong orang makian dapat meraih sukses, kejayaan dan kekuasaan. Semangat-semangat hidup seperti inilah yang kemudian membuat orang makian pergi merantau dan berlalangbuana dinegeri orang, tanpa melunturkan semangat primordialisme ketika kembali kewilayahnya.
Pada dasarnya dalam diri orang makian mempunyai pandangan filosofi yang diambil melalui “buah kenari” dan dijadikan simbol jati diri orang makian. Konon kenari merupakan suatu “komuditi” unggulan dipulau makian. Kenari dapat diartikan sebagai sesuatu yang keras (kulitnya), namun didalamnya terdapat isi yang putih, menandakan kelompok masuayakarat makian yang keras (bersemangat)dalam berjuang, dan selalu bersandarkan pada nilai kebaikan bersama. Setidaknya, ada kesamaan filosofi dengan masyarakat maluku pada umumnya yang menggunakan “Pohon sagu” sebagai filosofi hidupnya. Sagu bagi orang maluku adalah pohon dan daunnya yang berduri, namun isi dari pohon sagu tersebut adalah putih. Itu artinya bahwa orang maluku terkadang di dalam pergaulan sosial dianggap sebagai orang yang kasar, keras. Namun sesungguhnya tidak demikian, orang maluku mempunyai integritas diri yang kuat, dengan adat dan buadayanya membentuk perilaku yang lembut, ramah, dibalik sifat luar yang dinampakan dalam kesahariannya.
Pandangan yang lain, justru mengatakan bahwa orang makian awalnya menuju kesuksesan didasari atas kerja keras menebang hutan dengan satu niat yang suci atau pengharapan ketika menebang pohon adalah sebagai sumber mengais kebutuhan hidup dan kelak dapat Menunaikan Ibadah Haji. Tak heran, pulau kecil ( Makian) ini kebanyakan ditemui banyak orang-orang yang mempunyai penutup “kepala putih”. Ironisnya, etos kerja keras orang makian hanya berhenti pada titik prestasi tersebut, sehingga menjadi tidak produktif dalam menjalani kehidupan selanjutnya.
sehingga pada era 1960-70-an semangat itu sedikitnya bergeser, memasuki wilayah pendidikan bagi anak cucu mereka. Fenomena ini menjadi ukuran bagi orang makian sendiri bahwa tingkat kesejahteraan dan kemakmuran hidupnya dapat dikatakan sukses bila niat untuk menunaikan ibadah haji dan menyekolahkan anaknya dapat diwujudkan.
Dalam masyarakat makian dapat dilihat ada kelompok kategori masyarakat yang memiliki status, tentu ini mengarahkan pada perbedaan dari martabat (prestise) dan pembedaan di antara perorangan dan kelompok didalam masyarakat makian itu sendiri, diantaranya golongan pejabat dan kelompok profesional, golongan alim ulama, golongan buruh tani. Dalam konteks ini tentu mempunyai bias pada sisi ekonomi masyarakat makian, sehingga dalam masyarakat makian dari segi ekonomi secara umum dapat dibedakan pada lapisan ekonomi atas, lapisan ekonomi menengah, dan lapisan ekonomi bawah. Di lain sisi, status orang makian dapat dipandangj, karena peralihan status dapat diukur dari tingkat pendidikan, kesejahteraan, ataupun dari pertalian masyarakat atau pengangkatan. Dengan demikian pembenaran dari setiap hierarki maksyarakat makian dan status dimaksud, tentu berimplikasi pada perbedaan peranan dan kewajiban. Dalam pengertian ini maka perbedaaan dalam status dan kekayaan selalu tergantung pada keadaan dan tidak pernah mutlak sifatnya.
Keadaan alam yang ganas, hanya sedikit menyimpan potensi sumber daya alam yang memadai selain buah kenari, adalah sebuah tantangan bagi etnis makian untuk migrasi demi mencari sumber penghidupan yang lebih layak, selain alasan kepadatan penduduk sejak itu, yang berimplikasi terhadap berkurannya pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam. Kurang lebih Tahun 1960, migrasi orang makian ke ternate banyak yang pekerjakan sebagai “anak piara” (pembantu rumah tangga).
Walaupun menjadi pembantu rumah tangga mereka berupaya bagi yang sekolah tetap melanjutkan studinya, sementara kelompok masyarakat lainnya mencari lahan produktif untuk dijadikan investasi bagi keberlangsungan kehidupan mereka kedepan.
Kini disebelah Kota Ternate Selatan, kurang lebih 50 persen didiami oleh orang makian. Migrasi Orang makian ke Ternate dan wilayah lain di Maluku Utara, tidak saja datang dan pergi, namun mereka memilih menetap, ataupun membeli lahan untuk membangun rumah, dengan asumsi, kelak anak cucu mereka tidak lagi mengalami nasib yang sama menjadi “anak piara” seperti yang mereka alami.
Setidaknya ada beberapa nilai budaya dalam kehidupan orang makian. Orang makian memaknai kekerabatan sepertihalnya masyarakat lain di Indonesia dengan diikat oleh hubungan primordial, hubungan darah, perkawinan dan persahabatan. Akan tetapi pola yang kekerabatan yang dianut sepertinya berada pada semangat filosofis kekerabatan orang makian yang disebut sebagai “Gasilim Nipoyopso” ( Lima sisi melahirkan satu kepala, dan satu kepala melahirkan lima sisi, dan seterusnya)..Filosofi tersebut dimanefestasikan dalam kehidupan keseharian sehingga dapat membentuk sebuah jaringan-sosial yang kuat dan mempunyai sifat interdependensi sesama orang makian. Semangat inilah yang kemudian membuat orang makian mempunyai sifat menolong, menopang dan membesarkan antar sesamanya. Sistem kekerabatan juga dibangun menembus batas teritorial wilayahnya dengan semangat “ Daio Nalou Tadopas-dopas, Maiulona Tadopas te” ( Walaupun kita dipisahkan oleh gunung dan laut, namun semangat dan hati kita tetap satu). Nilai-nilai agama selalu dijadikan sandaran. Kewibawaan dan harga diri orang makian karena sebagai penerima syariat islam pertama dari mazhab syafi dibumi maluku Utara, dizaman itu mereka menggangkap mereka adalah masyarakat yang berpengetahuan (pengatahuan Islam), bukan pada tingkatan syariat, akan tetapi pada tingkatan tarekat dan marifat.
Dimaluku Utara, “Blok M” merupakan sebuah istilah yang sangat populer dan cukup akrab didengar oleh para birokrat, politisi, Akademisi, Kaum Muda Intelektual diluar etnis makian, diantaranya ternate, tidore, Tobelo, Galela, Morotai dan Sanana. Di istilakan “Blok M” atau Blokan Makian, dikarenakan sikap kecemburuan politik-sosial oleh beberapa etnis di Maluku Utara terhadap Dominasi kelompok/individu dari Etnis Makian dalam pengambilan keputusan Stategis diberbagai Lembaga/Instansi Di Provinsi Maluku Utara. Kecemburuan diakibatkan oleh perimbangan dan pembagian kekuasaan yang sepihak tidaklah kemudian mengarahkan pada suatu kondisi Konflik etnis yang terbuka di Maluku Utara. Walaupun demikian, etnis makian bukan lah etnis yang dominan, dilain sisi etnis makian juga bukanlah sebuah etnis yang mempunyai kekuatan budaya lokal yang dominan. Sehingga boleh jadi, kecemburuan yang memuncak dari beberapa gabungan etnis dimaluku Utara terhadap etnis makian akan dapat menimbulkan konflik dimasa datang. Sesuatu yang tak dapat dielakan, bahwa kontestasi etnis di Maluku Utara adalah fenomena yang mempunyai akar sejarah yang panjang. Sejak masa kerajaan di abad 13 sudah menampakan dominasi politk sebut saja zaman momole, ternate masih dalam bentuk kesatuan budaya-belum negara – pertentangan antara empat clan- tubo, tobenga,tabanga, dan foramadiahi saling berperang memperebutkan resource kekuasaan maupun ekonomi, ini adalah gambaran awal.. Hingga kini cara pandang etnocentrisme mendominasi berbagai kelompok dan aliran diprovinsi maluku Utara.
Dibidang birokrasi pemerintahan, baik tingkat provinsi yang lebih didominasi oleh kelompok makian dikarenakan rekruitmen aparat berdasarkan cara pandang etnocentrisme, maka setelah pemekaran wilayah justru masing masing daerah diluar etnis makian membuat kapling-kapling etnis, sebagai sikap balas dendam, dan mengharamkan bagi etnis makian menorobos masuk diwilayah administratifnya.
Kedepan, Konflik bisa saja terjadi diakibatkan oleh etnis-etnis yang mendiami di Provinsi Maluku Utara adalah merupakan bagian dari masyarakat yang turut berada dalam suatu sistem persaingan kelompok, dan menggambarkan perjuangan untuk dapat memperoleh sumber-sumber bagi kebutuhan material yang mendasar, disamping kehormatan, dan reperesentasi etnis dalam struktur kekuasaan di Maluku Utara. Itu artinya bahwa, konflik juga dapat menumbuhkan dinamikan kehidupan yang dapat memacu pada tingkat kehidupan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar