Entri Populer

Kamis, 31 Maret 2011

Benarkah TUHAN itu ADA??

Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Benarkah Tuhan itu ada ?
Jawaban atas pertanyaan seperti ini diperkirakan telah ada dan setua umurnya dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Betapa tidak, fakta mengatakan kepada kta bahwa manusia dari jaman kejamannya memilki Naturaliter Religiosa atau instink untuk beragama, dalam kondisi gawat yang mengancam eksistensinya misalnya terhempas ombak di tengah samudra, sementara pertolongan hampir mustahil diharapkan, hati manusia akan menyuruh untuk mengharapkan suatu keajaiban, demikian juga ketika seseorang sedang dihadapkan pada persoalan yang sulit, sementara pendapat dari manusia lainnya berbeda-beda, ia akan mengharapkan petunjuk yang jelas yang bisa dipegangnya.

Bila manusia tersebut menemukan seseorang yang bisa dipercayainya, maka dalam kondisi dilematis ini ia cenderung merujuk pada tokoh idolanya itu dan secara umum setiap manusia cenderung mencari sesembahan. Baik sesembahan itu berupa dewa laut, dewa petir, jimat pusaka atau bahkan pohon-pohon besar tertentu yang dianggap mampu melindunginya.

Ini semua memberikan gambaran bagi kita bahwa sejak dulu, manusia sudah mempercayai akan keberadaan alam lain yang tidak kasat mata dan dapat memberikan pengaruh terhadap dunia manusia yang nyata. Hanya saja cara dan pemahaman mereka terhadap alam lain itu berbeda satu dengan yang lain, namun secara umum kita bisa menyimpulkan bahwa manusia meyakini akan keberadaan Kekuatan yang lebih Berkuasa diatas manusia. Hal ini digambarkan juga oleh al-Qur’an :
Dan apabila manusia ditimpa bahaya, dia berdo'a kepada Kami
sambil berbaring, duduk atau berdiri – Qs. 10 Yunus : 12
Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka : "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah" !
- Qs. 39 Az-Zumar : 38
Pada masa lalu, keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sering membuat mereka cepat lari pada sesembahan yang mereka yakini; setiap ada fenomena alam yang tak bisa mereka mengerti misalnya saat ada petir, gerhana matahari atau gempa bumi atas yang lainnya sebagaimana ilustrasi yang diceritakan oleh al-Qur’an terhadap pencarian jati diri Tuhan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. :
Maka ketika malam menjadi gelap dan ia melihat sebuah bintang, ia berkata: ‘Apakah ini Tuhanku ?’ – Tetapi ketika bintang itu hilang, ia berkata : ‘Aku tidak suka kepada yang bisa menghilang !’
Saat ia melihat kemunculan bulan, berkatalah dirinya : ‘Apakah ini Tuhanku ?’ – Namun ketika bulan itu kembali hilang, dia berseru : ‘Sungguh, Jika aku tidak dipimpin oleh Tuhanku, maka pasti aku termasuk dalam kaum yang tersesat
Saat ia melihat matahari terbit, berkatalah ia : ‘Inikah Tuhanku ? Dia ini lebih besar !’ - Namun ketika matahari itu terbenam, ia berkata : ‘Hai kaumku, sungguh aku berlepas diri dari apa yang telah kamu persekutukan!’ – Sungguh aku hadapkan diriku kepada Yang menjadikan langit dan bumi dengan ikhlas dan aku tidak termasuk dari orang-orang yang menyekutukan-Nya !’ - Qs. 6 al-an-am : 76 - 79
Bahkan dijaman Nabi Muhammad sendiri masih ada orang yang menghubungkan kematian seseorang dengan fenomena alam seperti saat Ibrahim, salah seorang putera dari Nabi meninggal dunia:
Dari Mughirah bin Syu’bah, katanya : ‘Terjadi gerhana matahari dimasa Rasulullah Saw, bertepatan dengan hari wafatnya Ibrahim (putera Nabi). Orang banyak lalu berseru : ‘Terjadi gerhana karena meninggalnya Ibrahim!’ – Rasulullah Saw lalu bersabda : ‘Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan terjadi bukan karena mati atau hidupnya seseorang, jika kamu melihatnya sholatlah dan berdoalah kepada Tuhan’ - Hadis Riwayat Bukhari
Secara bertahap kemajuan ilmu pengetahuan alam kemudian mampu mengungkap cara kerja alam dan sampailah manusia pada suatu pemikiran, bahwa pasti ada sesuatu yang di belakang itu semua, sesuatu yang berada di belakang dewa petir, dewa laut atau dewa matahari, sesuatu yang di belakang semua hukum alam, sesuatu yang disebut Tuhan yang pernah didakwahkan oleh para Nabi.
Tidak terlihatnya Tuhan bukan berarti Dia tidak ada. Berapa banyak hal yang tidak dapat kita lihat tetapi benda itu ada. Contoh yang paling sering digunakan adalah udara yang kita hirup untuk kelangsungan hidup kita, tidak bisa melihatnya tetapi kita bisa merasakannya, bahkan Ruh yang menjadi esensi kehidupan kita, tidak dapat terlihat dan tidak bisa dimengerti hakekatnya namun kita yakini keberadaannya.; contoh lain yang akhir-akhir ini marak diberbagai acara televisi di Indonesia menyangkut penampakan makhluk halus yang secara lahiriah tidak bisa dilihat dengan kasat mata tetapi ia ada dan bisa dibuktikan melalui cara-cara tertentu termasuk misalnya dengan uji nyali.
Memang tidak ada metode ilmiah yang benar-benar dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara mutlak sampai mampu menggambarkan sosok Tuhan yang sesungguhnya, manusia hanya bisa mengambil perwujudan Tuhan dalam sosok berhala yang tidak berbeda jauh dengan dirinya sendiri, ada manusia menggambarkan Tuhan dengan wujud manusia tersalibkan bernama Yesus, ada juga manusia yang mengambil rupa seorang pangeran Magadha yang berdiam dibawah pohon pippala bernama Budha, dan bahkan ada yang mengambil rupa api sebagai wujud Tuhan seperti yang ada pada kerajaan Persi dimasa lalu.
Karena itu, Ibnu Arabi, seorang sufi Andalusia termasyur ± 8 abad yang lalu memahami seluruh alam semesta, termasuk manusia ini sebagai penampakan diri (tajalli) dari Tuhan dan dengan demikian segala sesuatu dan segala peristiwa dialam ini adalah entifikasi (wujud keberadaan) Tuhan[1].
Menurutnya, gambar dalam sebuah cermin meskipun ada dan kelihatan, bagaimanapun juga hanyalah sebuah ilusi atau bayangan dari subjek yang bercermin. Dan ketika sang subjek menggunakan ribuan cermin, maka bayangan sang subjek akan menjadi banyak, padahal dia hanyalah satu. Dalam cermin jagad raya inilah Tuhan menampakkan eksistensi-Nya.
Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah
– Qs. 2 al-Baqarah : 115
Oleh karena itu, untuk melihat diri Tuhan, kita harus pandai membaca alam semesta, kita harus pintar mengenal diri dan lingkungan kita.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal - Qs. 3 ali Imran : 190
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih bergantinya malam dan siang bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah turunkan dari atmosfir berupa air lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah matinya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang diedarkan antara atmosfir dan bumi; sungguh menjadi tanda-tanda bagi kaum yang memikirkan. - Qs. 2 al-Baqarah : 164

Wassalam,

Filsafat ; Nilai Ilmu pengetahuan


Nilai Ilmu Pengetahuan
A.   Pendahuluan
Rasa keingintahuan manusia ternyata menjadi titik-titik perjalanan manusia yang takkan pernah usai. Hal inilah yang kemudian melahirkan beragam penelitian dan hipotesa awal manusia terhadap inti dari keanekaragaman realitas. Proses berfilsafat adalah titik awal sejarah perkembangan pemikiran manusia dimana manusia berusaha untuk mengorek, merinci dan melakukan pembuktian-pembuktian yang tak lepas dari kungkungan
Kemudian dirumuskanlah sebuah teori pengetahuan dimana pengetahuan menjadi terklasifikasi menjadi beberapa bagian. Melalui pembedaan inilah kemudian lahir sebuah konsep yang dinamakan ilmu. Pengembangan ilmu terus dilakukan, akan tetapi disisi lain pemuasan dahaga manusia terhadap rasa keingintahuannya seolah tak berujung dan menjebak manusia ke lembah kebebasan tanpa batas. Oleh sebab itulah dibutuhkan adanya pelurusan terhadap ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kenetralan tanpa batas dalam ilmu. Karena kenetralan ilmu pengetahuan hanyalah sebatas metafisik keilmuan. Sedangkan dalam penggunaannya diperlukan adanya nilai-nilai moral.
             Sejak saat pertumbuhannya, ilmu sudah terkait dengan masalah moral. Satu contoh ketika Copernicus (1473—1543) mengajukan teorinya tentang kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang berputar mengelilingi matahari” dan bukan sebaliknya seperti yang dinyatakan dalam ajaran agama maka timbullah interaksi antara ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama) yang berkonotasi metafisik. Secara metafisik ilmu ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, sedangkan di pihak lain terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan (nilai-nilai) yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan (nilai moral), seperti agama. Dari interaksi ilmu dan moral tersebut timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Galileo oleh pengadilan agama dipaksa untuk mencabut pernyataan bahwa bumi berputar mengelilingi matahari.
             Adapun nilai dalam hal ini merupakan tema baru dalam filsafat: Aksiologi, cabang filsafat yang mempelajarinya, muncul untuk pertama kalinya pada paroh kedua abad ke-19. Penemuan ini merupakan salah satu penemuan yang terpenting dalam filsafat, secara mendasar mengandung arti pembedaan antara ada (being)dengan nilai (value), baik pada zaman kuno maupun pada zaman modern. Orang tanpa menyadarinya telah menempatkan nilai dibawah ada dan mengukur keduanya dengan tolak ukur yang sama. Dewasa ini, penelitian terhadap berbagai nilai yang terisolasi ini menemukan makna baru manakala orang mencatat bukan hanya jalinan yang lembut yang mengikatnya menjadi satu, namun juga sinar yang mengarahkan semua riset atas hakikat nilai dalam proses pengkajian masing-masing kawasan ini sebagai satu keseluruhan. Maka, etika dan estetika- warisan filsafat kuno- belakangan ini melangkah jauh ke arah peningkatan kemampuan untuk mengkaji nilai sebagaimana adanya.
             Dalam pembahasan nilai ini, akan dibahas masalah nilai, etika, dan estetika yang merupakan bagian dari aksiologi (nilai ilmu).
B.    Pokok Bahasan
1)      Pengertian Nilai dan Ilmu Pengetahuan
a.         Pengertian nilai
Nilai secar etimologi berasal dari kata value (inggris) yang berasal dari velere (latin) yang mempunyai arti kuat,baik, dan berharga. Nilai adalah suatu yangberharga,baik, dan berguna bagi manusia. Nilai dapat diartikan suatu penghargaan atau suatu kulitas terhadap suatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia.
b.         Pengertian ilmu pengetahuan
Ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginyadan kedeluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejalayamg ingin dimengerti manusia.
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatuan manusioa untuk memahami suatu obyekyang dihadapinya,hasil usaha manusia untuk memahami suatu obyek tertentu.
Ilmu pengetahuan diambil dari kata science (bahasa inggris) yang diberasal dari bahasa latin scientia dari bentuk kata kerja  scinre yang berarti mempelajari,mengetahui. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyek. Ilmu pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan mensistematisasikan common sense, suatu pengetuan yang berasal dari pengalaman dan pengamatan dalm kehidupan sehari-hari,namun dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Dalam “Epistimologi Indonesia”,kita jumpai pengertian sebagai berikut: Ilmu pengetahuan,suatu sistem dari pengetahuan dari berbagai pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan; suatu system dari berbagai pengetahuan yang masing-masing didapatkan sebagai hasil pemeriksan-pemeriksaan yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu (induksi,deduksi).

          Ilmu pengetahuan mempunyai dua jenis (Soejono Soemargono, 1983) yaitu :
a.       Pengetahuan non ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah.
b.      Pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang di peroleh dengan menggunakan metode-metode ilmiah. 
2)      Teori Tentang Nilai
         Aksiologi difahami sebagai teori nilai, Sedangkan nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda dan benda itu sendiri merupakan sesuatu yang bernilai, kemudian  ketidaktergantungan ini mencakup setiap betuk empiris. Nilai merupakan satu jenis obyek yang sama sekali tidak dimasuki oleh rasio tetapi dengan demikian nilai menyatakan diri melalui perpsepsi sentimental dalam referensi cinta benci.
         Dalam rangka menunjukkan makna yangmendalam dari pemahaman nilai dengan menggunakan sarana persepsi sentimental telah diterapkan perian fenomenologis atas kehidupan emosional yang memungkinkan baginya untuk memberikan berbagai tingkat dunia emosional yang tidak biasa dibedakan dengan jelas faktanya bahwa hakikat nilai menyatakan dirikepada kita dalam intuisi emosional.
         Adapun salah satu ciri has yang hakiki dari nilai adlah penampakannya dalam urutan hierarkis sekalipun bagi orang yang menerima dengan tanpa mempersoalkan kebenaran dari proposisiini adalah sulit untuk menentkan criteria mana yang harus dipakai untuk menentukan hierarki. Jelas bahwa criteria empiris tidak dapat digunakan, krieteria tersebut dapat mengatakan seperti apa tebal hierarkis sebuah masyarakat atau bangsa. Namun tidak dapat mengatakan apakah tebal ini harus ada. Scheler percaya bahwa nilai itu tersusun dalam sebuah hubungan hearkis a priori. Akan tetapi hiearki baginya harus di temukan di dalam hakikat nilai itu sendiri.
3)      Hakikat Nilai
a)     Nilai berasal dr kehendak: voluntarisme.
b)    Nilai berasal dr kesenangan: Hedonisme
c)     Nilai berasal dr kepentingan. (Perry)‏
d)    Nilai berasal dr hal yg lebih disukai (preference). Martineau.
e)     Nilai berasal dr kehendak rasio murni. (I.Kant).
4)       Etika
a.     Pengertian etika
         Etika secara etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminiologi etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk.
         Ruang lingkup etika meliputi bagaimana caranya agar dapat hidup lebih baik dan bagaimana caranya untuk berbuat baik serta keburukan.
         Etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatife. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan,apa adanya, tidak memberikan penilaianm tidak memilih mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah.
         Adapun etika normative sudah memberikan penilaian mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana yang tidak. Etika normative dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum  membicarakan tentang prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati dan segbagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan dari prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.
         Pembagian etika yang lain adalah etika individual dan etika sosial. Etika individual membicarakan perbuatan atau tingkah laku manusia sebagai individu. Misalnya tujuan hidup manusia. Etika sosial membicarakan tingkah laku atau perrbuatan manusia dalam hubungannya dengan orang lain. Misalnya baik atau buruk dalam keluarga, masyarakat dan Negara.
         Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehati-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai. Adapun etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada.
         Obyek etika menurut Franz Magnis Suseno (1987) adalah pernyataan moral apabila diperiksa segala jenis moral, pada dasarnya hanya dua macam, yaitu pernyataan tentang tindakan manusia dan pernyatan tentang manusia sendiri atau tentang unsure-unsur kepribadian manusia seperti motif-motif, maksud atau watak.
b.      Aspek etika ilmu pengetahuan
      Manusia sebagai manipulator dan articulator dalm mengambil manfaat ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dai freud yang dikenal dengan nama ”id”,”ego” dan”super-ego”. “Id” adalah lepribadian yangmenyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dan agama) dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instik: libido(konstruktif) dan thanatos (destruktif dan agresif). “ Ego” adalah penyelaras penyelaras antara”Id”dan realita dunia luar.”super-ego”adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani(Jalaluddin Rahmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
          Ketika manusia memenfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikanbahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Misalnya dakam pertrungan antara in dan ego, dimana ego kalah sementara super-eg0 idak berfungsi optimal, maka tentu-atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan- amatlah tidak mungkin kebaikan diperoleh manusia,atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua perang dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalh pilihan id dari kepribadian manusia yang mengalahkan “ego” maupun “supr-ego”-nya.
           Oleh kerena itu, pada tingkat ksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab mansia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalm penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatef dan destruktif, makadiperlikan patron nilai dan norma untuk mengendalikan  potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan . disinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untu meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat ilmuan mengembalikan kesusesannya.
          Etika adalah pemahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya(ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik  tau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral, etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiabn itu, dengan argument bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan mendatangkan bencana atau keburukanbagi manusia. Oleh kerena itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang pelaksananya (baca:executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek berhadap opsi baik atau buruk, yang baik itulah materi kewajiban executor dalam situasi ini.
c.      Persamaan dan perbedaan  etika dengan etiket
Persamaan etika dan etiket adalah :
1). Menyangkut perilaku manusia, jadi hewan tidak mengenal etika dan etiket.
2). Mengatur perilaku manusia dan secara normative, artinya member norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan (Bertens,1993).
Menurut Bertens ada empat perbedaan yang sangat penting antara etika dan etiket. Yaitu:
1). Etiket menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia. Sedangkan etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak.
2). Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, apabila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Sedangkan etika selalu berlaku walupun tidak ada saksi mata.
3). Etiket bersifat relative, yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan  yang lain. Sedankan etika lebih absolut, prinsip-prinsipnya tidak bisa ditawar-tawar.
4). Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriyah saja. Sedangkan etika menyangkut manusia dari segi dalam.
5)       Estetika
a . Pengertian Estetika
Estetika dari bahasa yunani aesthesis atau pengamatan adalah cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Dalam estetika yang dicari adalah hakikat dari keindahan, bentuk- bentuk pengalaman keindahan, diselidiki emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah , agung , tragis , bagus , mengharukan dan sebagainya.
Dalam estetika di bedakan menjadi estetika deskriptif dan estetika normatif . Estetika deskriptif menggambarkan gejala gejala pengalaman keindahan , sedangkan estetika normatif mecari dasar pengalaman itu .
Perbedaan lain dari estetika adalah esteti filsafati dengan esteti ilmiah definisi estetika merupakan suatu persoalan filsafat yang sejak dulu sampai sekarang cukup di perbincangkan para filsuf dan diberikan jawaban yang berbeda-beda perbedaan itu terlihat dari berlainannya sasaran yang dikemukakan.
The Liang Gie merumuskan sasaran-sasaran itu sebagai berikut :
a.       Keindahan
b.      Keindahan dalam alam dan seni
c.       Keindahan khusus pada seni
d.      Keindahan ditambah seni
e.       Seni ( segi penciptaan dan kritik seni serta hubungan dan peranan seni)
f.       Citra rasa
g.      ukuran nilai baku
h.      Keindahan dan kejelekan
i.        Nilai non moral ( nilai estetis )
j.        Benda estetis
k.      Pengalaman estetis . ( the liang gie , 1983 , hlm . 20 – 21 )
Estetis filsafat adalah estetis yang menelaah sasararanya secara filsafat dan sering disebut estetis tradisional. Estetetis filasafat ada yang menyebut estetis analisis, karena tugasnya hanyalah mengurai.
Estetis ilmiah adalah estetis yang menelaah estetis dengan metode metode ilmiah , yang tidak lagi merupakan cabang filsafat pada abad xx. Estetis modern untuk membedakannya dengan estetis tradisional yang bersifat filsafati.

C.    Penutup
         Aksiologi difahami sebagai teori nilai, Sedangkan nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda dan benda itu sendiri merupakan sesuatu yang bernilai, kemudian  ketidaktergantungan ini mencakup setiap betuk empiris. Aksiologi memberikan jawaban untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan. Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah nilai. Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan nilai. Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma nilai. Bagaimana mengaitkan nilai ilmu ilmu pengetahuan dengan etika dan estetika.

Daftar Pustaka
Suriasumantri,Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Tafsir, Ahmad.2006. Filsafat Ilmu .Bandung:Rosdakarya

Bentuk-Bentuk Korupsi

BENTUK-BENTUK KORUPSI 

Adapun bentuk-bentuk korupsi yang sudah lazim dilakukan di lingkungan instansi pemerintah pusat maupun daerah, BUMN dan BUMD serta yang bekerjasama dengan pihak ketiga adalah sebagai berikut :
ü  Transaksi luar negeri illegal, dan penyelundupan.
ü  Menggelapkan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri.
ü  Jual beli jabatan, promosi nepotisme dan suap promosi.
ü  Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, dan menyalahgunakan keuangan.
ü  Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah mencurangi dan memperdaya serta memeras.
ü  Mengabaikan keadilan, memberi kesaksian palsu menahan secara tidak sah dan menjebak.
ü  Jual beli tuntutan hukuman, vonis dan surat keputusan.
ü  Tidak menjalankan tugas, desersi.
ü  Menyuap, menyogok, memeras, mengutip pungutan secara tidak sah dan meminta komisi.
ü  Jual beli obyek pemeriksaan, menjual temuan, memperhalus dan mengaburkan temuan.
ü  Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi dan membuat laporan palsu.
ü  Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemerintah.
ü  Manipulasi peraturan, meminjamkan uang negara secara pribadi.
ü  Menghindari pajak, meraih laba secara berlebihan.
ü  Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.
ü  Menerima hadiah uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.
ü  Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.
ü  Perkoncoan, menutupi kejahatan.
ü  Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos untuk kepentingan pribadi.
ü  Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
ü  Memperbesar pendapatan resmi yang illegal.
ü  Pimpinan penyelenggara negara yang meminta fasilitas yang berlebihan.

Penyebab Orang Korupsi


PENYEBAB KORUPSI

             Semakin merajalelanya dan meratanya korupsi keseluruh sendi kehidupan baik yang kelas teri, kakap sampai paus di indonesia faktor penyebabnya juga beragam dan saling kait mengait antara penyebab yang satu dengan penyebab yang lain dan merupakan lingkaran setan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain serta sulit untuk dicari penyebab mana yang memicu terlebih dahulu. Beberapa penyebab yang dominan sebagai pencetus tindakan korupsi yang akhirnya menjadi berkelanjutan tiada henti sehingga membudaya. Dari hasil penelitian, pengamatan, analisa dan evaluasi hasil pemeriksaan telah mengemukakan penyebab korupsi antara lain :
                                   
1.       Ketimpangan Penghasilan Sesama Pegawai Negeri/Pejabat Negara
           Walaupun Pegawai Negeri Sipil (PNS) diatur dalam peraturan perundang-undangan yang sama, yaitu berdasarkan UU No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan UU No 43 Tahun 1999, tetapi mengenai gaji dan penghasilan bisa berbeda-beda, hal tersebut tergantung kebijakan dan keberanian pimpinan instansi untuk memperjuangkannya baik secara resmi maupun tidak tetapi kedua-duanya merupakan perbuatan yang illegal.
Ketimpangan penghasilan PNS tersebut telah menimbulkan rasa cemburu yang luar biasa, yang salah satunya berdampak kepada perbuatan korupsi yang dilakukan secara berjamaah pada departemen/lembaga lainnya, dengan alasan penghasilan yang besar saja di Departemen Keuangan belum bisa mencegah pegawainya untuk melakukan korupsi, apabila pada departemen/lembaga yang penghasilan sangat rendah.
Seharusnya gaji dan penghasilan PNS yang berada diinstansi manapun (untuk pegawai yang tingkatannya sama) adalah sama, karena keberadaan suatu departemen/lembaga/ institusi prinsipnya adalah sama penting, oleh karena itulah keberadaan dan pembentukannya dilakukan, kalau tidak penting keberadaannya perlu dilakukan likwidasi. Kerberadaan polisi penting, begitupula tentara dan penjaga mercu suar yang hidup penuh resiko kematian. Auditor, jaksa, hakim juga penuh resiko untuk disuap. Jadi tidak ada perbedaan kepentingan keberadaan pegawai, bukan Cuma pegawai Departemen Keuangan saja yang penting dan penuh resiko untuk melakukan korupsi, sehingga memperoleh penghasilan yang berbeda dengan pegawai departemen/lembaga lainnya.
                                 
 2.       Sifat Tamak dan Keserakahan
          Apabila dilihat dari segi si pelaku korupsi, sebab-sebab dia melakukan korupsi dapat berupa dorongan dari dalam dirinya, yang dapat pula dikatakan sebagai keinginan, niat, atau kesadarannya untuk melakukan. Sebab-sebab seseorang mendorong untuk melakukan korupsi antara lain sebagai berikut :
Kemungkinan orang yang melakukan korupsi adalah orang yang penghasilannya sudah cukup tinggi, bahkan sudah berlebih bila dibandingkan dengan kebutuhan hidupnya. Kemungkinan orang tersebut melakukan korupsi tersebut juga tanpa adanya godaan dari pihak lain. Bahkan kesempatan untuk melakukan korupsi mungkin juga sudah sangat kecil karena sistem pengendalian manajemen yang ada sudah sangat bagus. Dalam hal pelaku korupsinya seperti itu, maka unsur yang menyebabkan dia melakukan korupsi adalah unsur dari dalam diri sendiri, yaitu sifat-sifat tamak, serakah, sombong,takabbur, rakus yang memang ada pada manusia tersebut
Apabila seseorang tidak mampu mengendalikan dirinya, maka tanpa godaan dari luar, tanpa didorong kebutuhan hidup, dan tanpa adanya kelemahan sistem yang memberinya kesempatan, seseorang tersebut akan berusaha mencari-cari jalan untuk melakukan korupsi. Dalam hal seperti ini, berapapun kekayaan dan penghasilan sudah diperoleh oleh seseorang tersebut, apabila ada kesempatan untuk melakukan korupsi maka akan tetap dilakukan juga. Biasanya orang-orang/pejabat-pejabat seperti inilah yang melakukan perencanaan korupsi sejak masih menjabat sampai menjelang dan memasuki masa pensiun.

3.       Gaya Hidup Konsumtif
          Gaya hidup yang konsumtif dikota-kota besar mendorong pegawai untuk dapat memiliki mobil mewah , rumah mewah, menyekolahkan anak di luar negeri, pakaian yang mahal, hiburan yang mahal, dan sebagainya. Sebagai misalnya, gaya hidup yang populer berupa hoby main golf akan mendorong seorang pegawai untuk mau menyediakan sarana untuk melaksanakan hoby tersebut. Apabila pegawai tersebut memang bukan pegawai yang tingkatannya cocok dengan hobby tersebut, sedangkan dirinya ingin bergaya hidup seperti itu sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan sarananya dengan cara-cara yang legal, maka mendorong dirinya untuk melakukan berbagai hal, termasuk korupsi agar hobbynya dapat terlaksana. Hal ini menjadikan pegawai yang walaupun sudah mendapatkan gaji yang layak akan berusaha menambah penghasilannya untuk memenuhi tuntutan gaya hidup tersebut.
Gaya hidup yang konsumtif tersebut akan menjadikan penghasilan yang rendah semakin tidak mencukupi. Hal tersebut juga akan mendorong seseorang untuk melakukan korupsi bilamana kesempatan untuk melakukannya ada.

4.       Penghasilan Yang Tidak Memadai          
          Penghasilan pegawai negeri seharusnya dapat memenuhi kebutuhan hidup pegawai tersebut beserta keluarganya secara wajar. Apabila ternyata penghasilannya sebagai pegawai negeri tidak dapat menutup kebutuhan  hidupnya secara wajar, misalnya hanya cukup untuk hidup wajar selama sepuluh hari dalam sebulan, maka mau atau tidak mau pegawai negeri tersebut harus mencari tambahan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam hal seperti itu adalah suatu keterpaksaan untuk mencari tambahan penghasilan, karena apabila hal itu tidak dilakukan maka dirinya dan keluarganya akan mati kelaparan. Usaha untuk mencari tambahan penghasilan tersebut tentu sudah merupakan bentuk korupsi, misalnya menyewakan sarana dinas, menggelapkan peralatan kantor, perjalanan dinas fiktif, mengadakan kegiatan yang tidak perlu dengan biaya  yang tidak wajar. Hal seperti itu akan lebih parah apabila mendapatkan kesempatan untuk melakukan korupsi terhadap sumber daya yang besar yang dimiliki organisasinya.

5.       Kurang Adanya Keteladanan Dari Pimpinan
                Dalam organisasi, pimpinannya baik yang formal maupun yang tidak formal (misalnya, sesepuhnya) akan menjadi panutan dari setiap anggota atau orang yang berafiliasi pada organisasi tersebut. Dengan karakteristik organisasi seperti itu, apapun yang dilakukan oleh pimpinan organisasi akan ditiru oleh para anggota organisasi walaupun dalam intensitas yang berbeda-beda. Apabila pimpinannya mencontohkan gaya hidup yang bersih dengan tingkat kehidupan ekonomi yang wajar, maka anggota-anggota organisasi tersebut akan cenderung untuk bergaya hidup yang sama. Akan tetapi, teladan yang baik dari pimpinan tidak menjamin bahwa korupsi tidak akan muncul di dalam organisasinya karena penyebab lain masih banyak
Demikian pula sebaliknya, apabila pimpinan organisasi gaya hidupnya berlebihan, maka anggota-anggota organisasi tersebut akan cenderung untuk mengikuti gaya hidup berlebihan. Dan, apabila tidak mampu menopang biaya hidup yang berlebihan tersebut, maka akan berusaha untuk melakukan berbagai hal termasuk melakukan korupsi.

 6.       Tidak Adanya Kultur Organisasi yang Benar
        Kultur atau budaya organisasi biasanya akan mempunyai pengaruh yang sangat kuat kepada anggota-anggota organisasi tersebut terutama pada kebiasaannya, cara pandangnya, dan sikapnya dalam menghadapi sesuatu keadaan. Apabila kultur ini tidak ditangani dengan baik, maka sejumlah anggota organisasi mungkin akan melakukan berbagai bentuk perbuatan yang tidak baik, yang lama-lama akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan tersebut akan menular ke anggota yang lain dan kemudian perbuatan tersebut akan dianggap sebagai kultur atau budaya di lingkungan yang bersangkutan. Misalnya, di suatu bagian dari suatu organisasi akan dapat muncul budaya uang pelicin, “amplop”, hadiah, jual beli temuan dan lain-lain yang mengarah ke akibat yang tidak baik bagi organisasi.
Kultur ini secara perlahan-lahan dibentuk menjadi kultur yang diarahkan untuk menunjang misi negatif tersebut. Dengan membentuk kubu diciptakan situasi dimana orang yang tidak sesuai dengan kultur tersebut akan disingkirkan” atau dikucilkan dengan berbagai cara negatid pula. Salah satu sarana yang biasa dipakai untuk membentuk dan menjaga kultur tersebut adalah dengan membangun kultur organisasi yang resmi dan kode etik atau aturan perilaku yang secara resmi diberlakukan pada organisasi.

7.       Sistem Akuntabilitas Di Instansi Pemerintah Kurang Memadai
                Pada organisasi di mana setiap unit organisasinya mempunyai sasaran yang sudah ditetapkan untuk dicapai yang kemudian setiap penggunaan sumber dayanya selalu dikaitkan dengan sasaran yang harus dicapai tersebut, maka setiap unsur, kuantitas dan kualitas sumber daya yang tersedia akan selalu dimonitor dengan baik. Hal ini cenderung akan terjadi secara otomatis, karena setiap berkurangnya sumber daya akan mengakibatkan berkurangnya tingkat pencapaian sasaran yang pada ahirnya akan menurunkan tingkat prestasi kerja manajemen unit kerja yang bersangkutan.
Pada instansi pemerintah, pada umumnya instansi belum merumuskan dengan visi (vision) dan misi (mision) yang diembannya dan juga belum merumuskan secara tepat tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam priode tertentu guna mencapai misi tersebut. Demikian pula dalam memonitor prestasi kerja unit-unit organisasinya, pada umumnya hanya melihat tingkat penggunaan sumber daya (infastruktur), tanpa melihat tingkat pencapaian sasaran yang seharusnya dirumuskan sangat tepat dan seharusnya dicapai (faktor out-put). Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapaisasarannya atau tidak.
Untuk memperbaiki keadaan ini, maka perlu disosialisasikan dengan diimplementasikan konsep perencanaan stratejik yang dimulai dengan perumusan visi dan misi masing-masing Departemen/LPND/BUMN/BUMD. Selanjutnya berdasarkan itu dengan berpegang pada amanat konstitusi ditetapkan tujuan dan sasaran yang harus dicapai serta ukuran-ukuran kinerja yang dipakai untuk mengukur tingkat keberhasilannya nanti. Ukuran kinerja tersebut tidak hanya mengukur faktor in-put saja (anggaran yang berhasil diserap dan jumlah pegawai yang dimiliki), tetapi juga mengukur output dan outcome-nya. Dengan cara ini, pada suatu saat nanti setiap pimpinan, instansi pemerintah/BUMN/ BUMD akan dapat menunjukkan akuntabilitasnya atas penggunaan sumber daya kewenangan yang dipercayakan dan dialokasikan kepadanya.
                   
8.       Kelemahan Sistem Pengendalian Manajemen
            Pada organisasi di mana pengendalian manajemennya lemah akan lebih banyak pegawai yang melakukan korupsi dibanding pada organisasi yang pengendalian manajemennya kuat. Seorang pegawai yang mengetahui bahwa sistem pengendalian manajemen pada organisasi di mana dia bekerja lemah, maka akan timbul kesempatan atau peluang baginya untuk melakukan korupsi. Di lingkungan APBN sistem pengendalian manajemen ini di kenal sebagai Waskat (pengawasan melekat) atau built-in control. Waskat dalam hal ini bukan pengawasan oleh atasan terhadap bawahannya. Pengawasan oleh atasan terhadap bawahannya dikategorikan sebagai suatu bentuk supervisi yang menjadi salah satu unsur sistem pengendalian manajemen.
Pengendalian manajemen terdiri dari : organisasi, kebijakan, perencanaan, prosedur, pencatatan, pelaporan, pembinaan personil, supervisi/review intern yang berkaitannya dengan penyebab korupsi dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.  Struktur organisasi dapat menunjukkan garis wewenang dan tanggung jawab yang jelas. Wewenang  yang diberikan terlalu berlebihan akan mendorong seorang pegawai/pejabat tersebut cenderung lebih mudah menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadinya.
2.  Kebijakan sedapat mungkin dibuat jelas dan tertulis, dikomunikasikan kepada setiap personil, transparan, tidak bertentangan dengan tujuan organisasi. Kebijakan yang tidak transparan akan mudah dimamfaatkan secara salah oleh pihak-pihak tertentu.
3.    Perencanaan harus realistis, melibatkan atasan dan bawahan, merupakan penjabaran tujuan organisasi. Pelaksanaan kegiatan tanpa perencanaan yang matang menyebabkan mudah dimamfaatkan pelaksana untuk menyeleweng.
4.  Prosedur harus sederhana, menghindarkan pekerjaan yang tumpang tindih, dikomunikasikan dengan baik oleh semua pihak yang terkait, sesuai dengan kebijakan, review ulang secara berkala. Prosedur yang berbelit-belit dalam pelaksanaan kegiatan cenderung dimampaatkan untuk tujuan pungli.
5.   Pencatatan harus lengkap dan informatif, diselenggarakan secara akurat dan tepat waktu, sederhana dan konsisten, dipisahkan dari fungsi penguasaan dan penyimpanan. Korupsi akan mudah dilakukan pada organisasi yang pencatatannya tidak beres.
6.  Pelaporan harus mengungkap fakta, obyektif, jelas,lengkap, tepat waktu. Mekanisme pelaporan yang tidak jalan dengan baik sulit dapat mendeteksi adanya kecurangan sesegera mungkin. Aksesabilitas laporan oleh pihak lain di luar organisasi akan menentukan tingkat transparansi organisasi. Hal ini bila diatur dengan baik akan mendongkrak kualitas pengawasan oleh pihak luar organisasi.
7.   Penerimaan dan pemberhentian personil sesuai dengan ketentuan, terdapat pengembangan karir yang jelas, terdapat sistem penghargaan yang dapat memotivasi pegawai. Dengan pembinaan personil yang baik di dalam organisasi akan menumbuhkan rasa memiliki (self of belonging) dalam diri setiap personil organisasi tersebut. Banyak pegawai yang frustasi karena harapannya dalam organisasi tersebut tidak mungkin dapat terpenuhi akan mudah melakukan korupsi.
8. Supervisi dan review intern menggunaan metode dan instrumen yang tepat, dilaksanakan secara berkala, bersipat pembinaan pegawai dan memperlancar pelaksanaan kegiatan. Korupsi mudah terjadi jika tidak ada pengawasan intern yang baik dan dilaksanakan terus menerus. Seorang pegawai akan mudah melakukan kecurangan jika mengetahui bahwa pekerjaannya tidak pernah atau kurang diawasi.
       
9.       Manajemen Cenderung Menutup Korupsi Di Dalam Organisasinya
     Pada umumnya jajaran manajemen organisasi dimana terjadi korupsi enggan membantu mengungkapkan korupsi tersebut walaupun korupsi tersebut sama sekali tidak melibatkan dirinya. Kemungkinan keengganan tersebut timbul karena terungkapnya praktek praktek korupsi di dalam organisasinya akan dianggap sebagai bukti buruknya kualitas manajemen organisasi. Akibatnya, jajaran manajemen cenderung untuk menutup-nutupi korupsi yang ada, dan berusaha menyelesaikanny dengan cara-caranya sendiri yang kemudian dapat menimbulkan praktek korupsi yang lain.   
Keengganannya ini juga mengakibatkan upaya mendeteksi praktek korupsi melalui kegiatan audit oleh jajaran pemeriksa maupun kegiatan penyelidikan dan penyidikan lanjutannya menjadi lebih sulit. Selain berupaya menutup-nutupi praktek korupsi yang ada, jajaran manajemen juga cenderung kurang kooperatif terhadap upaya audit, penyelidikan maupun penyidikan yang diketahuinya akan dapat mengarah pada pengungkapan praktek korupsi di organisasinya.

 10.    Nilai-Nilai Negatip Yang Hidup Dalam Masyarakat
                   Nilai-nilai yang berlaku di masyarakat ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi mudah timbul karena nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kondusif untuk terjadinya hal itu. Misalnya, banyak anggota masyarakat yang dalam pergaulan sehari-harinya ternyata dalam menghargai seseorang lebih didasarkan pada kekayaan yang dimiliki orang yang bersangkutan. Ini             dapat dilihat bahwa sebagian besar anggota masyarakat akan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap seseorang apabila melihat penampilan lahiriah atau kendaraannya yang mewah atau rumahnya mewah.
Juga,  apabila masyarakat mengetahui adanya orang yang melakukan perbuatan yang salah yang mengarah ke perbuatan korupsi masyarakat tidak bertindak apa-apa asalkan orang tersebut sering berderma. Misalnya, adanya pungutan tambahan dalam urusan-urusan perijinan, masyarakat memandang “cuek” kejadian-kejadian tersebut karena menganggap hal seperti itu adalah hal yang sudah biasa, yang penting urusan saya selesai. Masyarakat yang “permissive” (cenderung membolehkan secara diam-diam) terhadap terjadinya   penyimpangan kondisi sangat kondusif untuk terjadinya korupsi.

11.    Masyarakat tidak mau menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh korupsi adalah masyarakat sendiri
                 Masyarakat pada umumnya beranggapan bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi, maka pihak yang akan paling dirugikan adalah negara atau pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa apabila negara atau pemerintah yang dirugikan, maka secara pasti hal itu juga merugikan masyarakat sendiri. Misalnya, apabila terjadi korupsi dalam bentuk manipulasi kualitas pekerjaan borongan untuk perbaikan jalan. Dari kejadian tersebut masyarakat akan memandang bahwa yang dirugikan adalah uang pemerintah pusat/daerah, tanpa menarik kesimpulan lebih lanjut bahwa yang dirugikan adalah masyarakat sendiri karena masyarakat tidak dapat menikmati mulusnya jalan yang selesai diperbaiki sebagaimana mestinya. Jalan yang diperbaiki akan segera rusak kembali, sehingga masyarakat sebagai pengguna jalan akan rugi, baik secara langsung berupa kendaraannya yang menjadi lebih cepat rusak maupun tidak langsung berupa kurang lancarnya kegiatan-kegiatan masyarakat. Apabila masyarakat betul-betul menyadari bahwa masyarakat yang akan menanggung rugi, maka masyarakat harus ikut mengawasi pelaksanaan pekerjaan borongan perbaikan jalan tersebut untuk mencegah terjadinya manipulasi kualitas pekerjaan borongan.
            
 12.    Moral Yang Lemah
       Seseorang yang moralnya tidak kuat cenderung lebih mudah untuk terdorong berbuat korupsi karena adanya godaan. Godaan terhadap seorang pegawai untuk melakukan korupsi berasal dari atasannya, teman setingkat, bawahannya, atau dari pihak luar yang dilayani.
Bila seorang  pegawai yang melihat atasannya melakukan korupsi, maka pegawai tersebut cenderung akan melakukan korupsi juga. Karena dia berpendapat bahwa apabila atasannya tersebut mengetahui perbuatannya kemungkinan atasannya tersebut mendiamkannya atau pura-pura tidak tahu, tidak akan mengenakan sanksi atau paling tidak hanya mengenakan sanksi yang ringan. Hal ini terjadi karena atasannya juga mempunyai rasa takut dilaporkan oleh bawahannya mengenai perbuatan korupsinya. Lebih – lebih jika seorang pegawai melakukan korupsi karena melakukan kolusi dengan atasannya. Atasanya cenderung akan melindungi bawahan yang melakukan korupsi tersebut, karena apabila pegawai tersebut ditindak maka dia terbawa juga.
Teman setingkat atau bawahan seorang pegawai yang melakukan korupsi juga dapat merupakan godaan bagi seorang pegawai. Seorang pegawai yang tingkat ekonominya di bawah pegawai lain yang setingkat atau bawahannya melakukan korupsi, jika moralnya tidak kuat akan mudah tergoda berbuat korupsi juga. Timbul dalam pikiran pegawai tersebut, mengapa harus kalah dengan mereka? Semua orang melakukan korupsi kenapa  saya tidak?

13.   Kebutuhan Hidup Yang Mendesak           
      Kebutuhan yang mendesak seperti kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk membeyar hutang, kebutuhan untuk membayar pengobatan yang mahal karena istri atau anak sakit, kebutuhan untuk membiayai sekolah anaknya, kebutuhan untuk mengawinkan anaknya, kebutuhan dimasa pensiun merupakan bentuk-bentuk dorongan seorang pegawai untuk berbuat korupsi. Dalam hal seperti itu tentu akan sangat tepat apabila dipikirkan suatu sistem yang dapat membantu memberikan jalan keluar bagi para pegawai untuk menghadapi  kebutuhan – kebutuhan yang sipatnya mendesak, misalnya sistem asuransi.
Lebih-lebih jika seorang pegawai terlilit hutang, mempunyai isteri lebih dari satu, mempunyai kebiasaan judi main perempuan atau punya pria lain, atau hobi minuman keras, maka akan sangat potensial untuk memenuhi kebutuhannya tersebut dengan cara apapun antara lain dengan korupsi. Dalam hal seperti itu, tentu akan sangat tepat apabila dipikirkan suatu sistem dapat meminimalkan jumlah pegawai yang mempunyai karakteristik tidak seperti itu.
Kebutuhan–kebutuhan yang mendesak tersebut akan menjadikan penghasilan yang sedikit semakin terasa kurang. Hal tersebut akan mendorong seseorang untuk melakukan korupsi bilamana kesempatan untuk melakukannya ada.

14.   Malas Atau Tidak Mau Bekerja Keras
           Kemungkinan lain, orang yang melakukan korupsi adalah orang yang ingin segera mendapatkan sesuatu yang banyak atau hanya dalam waktu singkat tetapi malas untuk bekerja keras dan meningkatkan kemampuan guna meningkatkan penghasilannya. Kalau ada kesempatan untuk mudah mendapatkan penghasilan yang besar tanpa usaha yang setimpal mengapa tidak dimamfaatkan. Akan timbul dalam pikiran orang tersebut, berapa tahun saya harus membanting tulang untuk memperoleh penghasilan sebesar itu? Apakah mungkin saya dapat mengumpulkan kekayaan sebanyak itu dengan gaji dari pekerjaan yang sekarang.? Lebih baik saya korupsi dengan menjual temuan-temuan pemeriksa, dua tiga kali memeriksa bisa punya mobil bagus dan mewah serta punya rumah mewah. Asyik ! tanpa kerja keras dan sekolah lagi saya jadi kaya.

15.   Ajaran-Ajaran Agama Kurang Diterapkan Secara Benar
             Secara umum, masyarakat di indonesia adalah masyarakat yang beragama dimana ajaran-ajaran dari setiap agama yang diakui keberadaannya di indonesia dapat dipastikan melarang perbuatan-perbuatan korupsi. Para pelaku korupsi, secara umum adalah orang-orang yang juga beragama. Mereka memahami ajaran-ajaran agama yang dianutnya,melarang korupsi. Ini menunjukkan bahwa banyak ajaran-ajaran agama yang tidak diterapkan secara benar oleh pemeluknya, hanya sekedar serimonial saja.
Ada kemungkinan pemahaman atas ajaran – ajaran agama tersebut kurang sesuai dengan kenyataan hidup yang dihadapi oleh para pelaku korupsi. Keadaan tersebut muncul apabila ajaran-ajaran agama terlalu banyak berpokus pada konsep-konsep yang terlalu tinggi dan melupakan ajaran mengenai larangan dan kewajiban yang senyara nyata berkait dengan dunia kehidupan yang nyata. Dalam situasi seperti itu, seseorang yang memahami ajaran-ajaran agamanya. Mungkin saja dia memahami ajaran agamanya tidak dijamin bersih dari perbuatan-perbuatan yang dilarang agamanya. Mungkin saja dia memahami ajaran agamanya, tetapi dalam memperaktekkan dalam kehidupan nyata tidak mampu mengikuti ajaran agamanya sehingga masih melakukan perbuatan-perbuatan korupsi.
 
16.   Lemahnya Penegakan Hukum
             Apabila dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebetulnya sejak diterbitkannya UU No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi peraturan perundang-undangan di bidang tindak pidana korupsi sudah cukup memadai, walaupun masih ada beberapa kelemahan diera UU No. 3 Tahun 1971 tersebut seperti : rumusan delik yang hanya bersifat materil, ketentuan sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum tidak ada batas minimum, subyek hukum terbatas pada subyek hukum perorangan sedangkan korporasi hukum subyek hukum, masih mempertahankan sistem pembuktian “negative wettelihijhe beginnal” atau mengedepankan asas praduga tak bersalah, kelemahan-kelemahan ini selalu dijadikan alasan kalangan penegak hukum mulai dari auditor, kepolisian, kejaksaan, dan para hakim serta pengacara dengan alasan sulitnya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kelemahan-kelemahan tersebut telah ditutup atau diperbaiki dalam UU No. 31 Tahun 1999.
Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi  mencakup beberapa aspek pertama, bisa tidak adanya tindakan hukum sama sekali terhadap pelaku korupsi dikarenakan pelaku adalah atasan dari penegak hukum atau bawahan dari penegak hukum yang menjadi penyokong utama (main supplier) yang membiayai operasional kegiatan si penegak hukum, atau si penegak hukum telah menerima bagian dari hasil korupsi si pelaku atau si pelaku adalah kolega dari pimpinan instansi penegak hukum. Kedua, tindakan ada tetapi penanganan di ulur-ulur dan sanksi di peringan. Ketiga, tidak dilakukan pemindahan sama sekali, karena si pelaku mendapat beking dari jajaran tertentu atau tindak pidana korupsinya bermotifkan kepentingan untuk kelompok tertentu atau partai tertentu.

17.   Sanksi yang Tidak Setimpal Dengan Hasil Korupsi
           Tidak redanya perbuatan korupsi, malahan kwalitas dan kwantitasnya selalu meningkat dari tahun ketahun dan menjalar ke seluruh bidang penyelenggaraan negara tidak saja dilingkungan eksekutif, yudikatif dan belakangan telah merasuki legislatif, auditif dan partai politik dikarenakan calon koruptor dan masyarakat melihat sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada para pelaku korupsi sangat ringan atau tidak setimpal dengan tindakan yang dilakukannya. Sehingga orang yang tadinya tidak korupsi atau yang terlibat dalam skala kecil akan berupaya untuk bisa melakukan korupsi atau terlibat dalam perbuatan korupsi yang lebih besar lagi.
 
18.   Kurang Atau Tidak Ada pengendalian
          Korupsi yang terjadi tidak terjadi dengan sendirinya tetapi telah direncanakan jauh-jauh sebelumnya, yaitu sejak proses perencanaan kegiatan dan anggaran. Dalam tahap perencanaan inisiator korupsi sudah bisa melihat apakah ada pengendalian atau pengawasan untuk pencegahan korupsi pada tahap perencanaan, apabila sebaliknya pihak-pihak inisiator berinisiatif untuk merancang korupsi. Apabila tidak ada pengawasan dan pengendalian pada tahap perencanaan, maka niat yang terselubung tersebut dibulatkan untuk dijadikan perbuatan korupsi dengan menuangkannya ke dalam rekayasa perhitungan-perhitungan hasil mark up ke dalam dokumen perencanaan untuk bisa dilaksanakan dengan melibatkan pihak pengawas dan pengendali dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.

19.   Faktor Politik
        Terjadinya korupsi di Indonesia bisa disebabkan oleh faktor politik atau yang berkaitan dengan masalah kekuasaan. Para pakar dalam disiplin ilmu politik tentunya mengenal dalil korupsi. Rumusan penyelewengan penggunaan uang negara telah dipopulerkan oleh E. John Emerich Edward Dalberg Acton atau lebih di kenal dengan Lord Acton, yang hidup pada tahun 1834-1902 di inggris. Beliau menyebutkan bahwa faktor kekuasaanlah yang menyebabkan korupsi.
Para pembaca tentu masih ingat dengan rumusan Lord Acton itu, yang menyatakan bahwa : Power tend to corrupt, but absolute power corrupts absolutely, yang berarti ; Kekuasaan cenderung korupsi, tetapi kekuasaan yang berlebihan mengakibatkan korupsi berlebihan pula.



--------S.A.Kuilo.-------